Mengapa Teknologi Seolah Menjadi Candu Bagi Masyarakat

administrator

0 Comment

Link

Mengapa Teknologi Seolah Menjadi Candu Bagi Masyarakat – – Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN SUKA) Yogyakarta Prof. dr. Fil. Al Makin, S.Ag., M.A. Belakangan ini agama disebut sebagai kecanduan karena konten atau simbolnya yang berlebihan di media sosial, YouTube, atau televisi. “Semua ini menjadi cerminan dari sejenis agama, yang bukan inti dari agama. Agama malah menjadi adiksi, bukan pedoman moral,” katanya dalam pidato pembukaan Konferensi Penyiaran Indonesia yang diselenggarakan oleh Komisi Penyiaran Indonesia Pusat. (KPI) di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada Minggu, 22 Mei 2022, seperti dilansir Antara.

Ia juga mengatakan hasil penelitian menunjukkan bahwa konten di media sosial, Youtube dan televisi penuh dengan simbol keagamaan yang berlebihan, ritual keagamaan yang berlebihan, program televisi keagamaan menjadi sangat religius. “Ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sedang berkonflik,” katanya. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia melakukan umrah atau haji berkali-kali, juga membangun banyak masjid, tetapi tidak didukung. “Artinya masyarakat di Indonesia sedang tidak baik-baik saja,” katanya. Oleh karena itu, ia menghimbau kepada masyarakat untuk menerapkan perilaku dan perilaku beragama yang baik dan layak serta tidak mengisi konten media dengan simbol-simbol agama yang berlebihan.

Mengapa Teknologi Seolah Menjadi Candu Bagi Masyarakat

Pada pemeriksaan lebih dekat, klaim bahwa agama adalah candu pertama kali dipopulerkan oleh filsuf Jerman Karl Marx, yang berarti, “Agama adalah keluhan dari makhluk yang tertindas, hati dari dunia yang tak berperasaan dan jiwa dari yang tak berjiwa. adalah candu. dari masyarakat.” Kutipan ini berasal dari buku Marx “A Contribution to Hegel’s Rights in the Critique of Philosophy”. Marx mulai menulisnya pada tahun 1843 sebagai pengantar untuk sebuah buku yang mengkritik filsuf Georg Wilhelm Friedrich Hegel, yang menulis Elements of the Philosophy of Right pada tahun 1820. Pengantar ini tidak diterbitkan sampai tahun 1844 di jurnal kecil Paris, Marx Deutsch–Französische Jahrbücher. Sedangkan bukunya sendiri diterbitkan setelah kematiannya (1883).

Peran Teknologi Informasi Terhadap Pelayanan Publik

Sontak, istilah yang dikemukakan Marx mendapat kritik keras dari masyarakat dan Gereja Katolik Eropa saat itu. Seperti yang Anda ketahui, Karl Marx hidup di masa ketika gereja memiliki hak untuk mengontrol kehidupan orang. Marx menemukan bahwa ada hubungan yang tidak sah antara gereja dan penguasa, yaitu dalam bidang agama dan politik di Eropa pada abad ke-19, elit penguasa menggunakan agama sebagai kuda tunggangan untuk mengejar kepentingannya. Di militer, misalnya, propaganda agama digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan tentara yang siap berperang, karena banyak perang terjadi di benua Eropa pada saat itu. Para penguasa Eropa pada waktu itu bekerja dengan gereja-gereja untuk mengajak orang berperang. Peperangan yang pecah di kalangan pemeluk agama Kristen menelan ribuan bahkan jutaan nyawa dari berbagai kelompok Kristen, seperti yang terjadi di Alikhia di Pegunungan Alpen.

BACA JUGA  Mobil Hidrogen Menggunakan Bahan Bakar Hidrogen Yang Diperoleh Melalui Teknologi

Selain itu, agama juga digunakan sebagai sarana untuk menipu kaum buruh. Kondisi para pekerja saat itu (dan masih di banyak negara) sangat memprihatinkan, mulai dari upah yang sangat rendah, jaminan keamanan kerja yang tidak jelas dan jam kerja yang tidak masuk akal. Sementara itu, gereja terus menyesatkan para pekerja dengan ilusi bahwa “kita harus berdoa dengan sungguh-sungguh untuk menyelesaikan masalah”. Pejabat gereja juga berpesan kepada karyawannya untuk bersabar saat menghadapi masalah di tempat kerja.

Pendek kata, Marx melihat agama sebagai candu masyarakat karena mirip dengan peran candu pada orang sakit atau terluka. Ini mengurangi rasa sakit dan memberikan ilusi yang menyenangkan bagi penderitanya. Atau, dalam bahasa Marxis, agama, seperti candu, menguras kekuatan dan keinginan mereka untuk melawan realitas yang menindas, tidak berperasaan dan tidak berjiwa yang dipaksakan kepada mereka oleh kapitalisme. Obat untuk penindasan, bukan untuk memberontak melawan penindas.

Oleh karena itu, buruh harus segera melawan penindasan. Para pekerja harus meninggalkan ilusi agama untuk melawan kesewenang-wenangan pemilik modal. Marx percaya bahwa agama harus dipisahkan dari ranah politik karena agama adalah alat yang berguna untuk menipu orang untuk mendapatkan kekuasaan dan alat penindasan.

Pemanfaatan Teknologi Pembelajaran Dalam Adaptasi Pandemi Covid–19

Ini adalah fakta yang terjadi pada zaman Marx hingga kisah candu agama. Bagaimana jika narasi itu keluar hari ini dari mulut seorang intelektual Muslim di negara berpenduduk mayoritas Muslim? Apakah kita malas menyebut agama (Islam) candu sebagaimana Marx menyebutnya?

Memang benar bahwa masyarakat kita tidak baik-baik saja, itu dalam konflik. Konflik yang melekat pada semua aspek kehidupan, atau multidimensi, berlangsung lama tanpa penyelesaian yang tuntas hingga saat ini. Entah apa yang dipikirkan rektor, sehingga seolah-olah dia hanya menuduh Islam dan Muslim berkonflik, yakni mencontohkan konsep umrah dan haji.

Islam, baik ajaran maupun simbolnya, selalu menarik karena mengundang kontroversi. Entah kenapa, selalu ada pihak yang tertarik untuk menyanggah nuansa religiositas muslim yang mereka sebarkan di media sosial. Kemudian dianggap sebagai bentuk masyarakat dengan masalah, kontradiksi dan tuduhan negatif lainnya. Alih-alih mengapresiasinya sebagai bentuk syiar Islam yang memberikan oase di tengah keringnya kehidupan sekuler yang terkatalisasi seperti sekarang ini.

Jika kisah “agama menjadi candu” adalah tentang Islam, kita harus mengkritisi dan menelaahnya, terutama standar kebaikan dan kesusilaan dalam agama itu sendiri, yang selalu dijunjung tinggi oleh kalangan sekuler liberal sebagai tolok ukur agama. Perlu diketahui bahwa penyebab utama konflik multidimensi di masyarakat bermula dari minimnya agama dalam organisasi kehidupan. Kalaupun ada, agama hanya berada di ranah privat sebagai akidah yang hanya mengatur urusan ibadah ritual. Sementara itu, masalah sosial, ekonomi, hukum, keamanan dan politik diatur oleh hukum demokrasi sekuler yang dihasilkan dari kompromi manusia.

BACA JUGA  Kemagnetan Dalam Produk Teknologi Kedokteran Salah Satunya Adalah

Siswa Jangan Jadi Budak Teknologi

Padahal, para pemimpin negara-negara Islam saat ini tidak menegakkan hukum yang bersumber dari agama (Islam) dan tidak didukung oleh ulama (agama). Namun, mereka bersolidaritas dengan oligarki, baik lokal maupun internasional. Mereka menyebarkan doktrin globalisasi untuk membenarkan tindakan privatisasi, “foreignization” dan liberalisasi aset negara sepenuhnya. Sumber daya alam yang benar-benar milik rakyat, jatuh bebas ke tangan perusahaan. Begitulah perencanaan sistematis pelaksanaan ekonomi kapitalisme dan politik demokrasi. Ia menjadi pilar liberalisme politik dan pasar bebas. Keduanya bersimbiosis satu sama lain, saling menguatkan. Oleh karena itu, demokrasi tidak akan pernah berjalan beriringan dengan kemakmuran, tetapi akan berjalan seiring dengan penguasaan harta benda oleh pemilik modal yang kecil.

Adapun konten-konten religi yang “membanjiri” di media sosial, jangan dianggap sebagai “pelarian” dari berbagai persoalan duniawi yang mereka hadapi. Atau bahkan tidak membantu dalam mencoba memecahkan masalah yang dihadapi negara. Ada baiknya kita memiliki pola pikir positif bahwa ada sekelompok kecil umat Islam yang terus berbuat baik dan buruk melalui media sosial. Lagi pula, tidak semua konten hanya tentang ibadah ritual. Diantaranya ada yang membicarakan muamalah, pergaulan, parenting bahkan politik dari perspektif Islam. Tidak sedikit konten religi ini memenuhi kehidupan duniawi. Artinya, selain mengatur soal ibadah mahdah, Islam juga mengatur tata kehidupan dan menawarkan solusi atas kompleksnya problematika kehidupan duniawi yang muncul akibat salah urus.

Oleh karena itu, salah jika menganggap konten ini hanya “candu” untuk publik. Bahkan, rakyat juga tidak tinggal diam ketika rezim yang berkuasa memberlakukan kebijakan sewenang-wenang terhadap mereka. Protes rakyat terhadap kebijakan keras penguasa berupa berbagai demonstrasi, tweet di jejaring sosial, dll. Semua ini menunjukkan bahwa masih ada ‘kehidupan’ Islami dalam komunitas Muslim yang mendorong mereka untuk melakukan muhasabah lil hukam kepada para pemimpin atas kesalahan mereka. Ini membedakan antara dogma Kristen abad ke-19 dan Islam sebagai ajaran wahyu kafa. Semangat Islam menjiwai setiap perbuatan yang harus diingatkan kepada setiap pelaku zalim, baik individu biasa maupun pemimpin. Ini hanya untuk menjaga jalan para pemimpin dalam mengelola urusan mereka di dunia, yang pada akhirnya akan dipertimbangkan di akhirat.

BACA JUGA  Penyebab HP iPhone Mati Total, Terkena Cipratan Air Salah Satunya, Ko Bisa?

Oleh karena itu, untuk melawan narasi “agama menjadi kecanduan”, umat Islam tidak boleh lemah dan reaktif, karena sikap seperti itu hanya akan semakin melemahkan Islam itu sendiri dan menjebak mereka dalam membenarkan nilai-nilai neo-komunisme atau sekularisme. Bahkan, Allah SWT berfirman dalam Surah Ali Imran ayat 139 dari Al Qur’an: “Jangan lemah dan (atau) bersedih hati, meskipun Anda berada di (derajat) tertinggi jika Anda beriman.”

Jual Buku Pemasaran Informasi: Strategi Meningkatkan Nilai Jual Perpustakaan Oleh Atiqa Nur Latifa Hanum

Di sisi lain, kita tidak boleh melupakan sejarah, pada masa pemerintahan Islam (Khilafah) yang berlangsung beberapa dekade, sebagian besar masyarakatnya makmur, baik itu pekerja (buruh), guru, pegawai negeri, pedagang dan lain-lain. Hampir tidak ada kabar buruk tentang kondisi kesejahteraan mereka. Pemimpin global mereka, khalifah, mengatur dan mengatur kehidupan masyarakat berdasarkan ajaran Islam yang diturunkan dari Al-Qur’an dan Hadits, termasuk pengelolaan kekayaan dan sumber daya alam mereka. Negara Khilafah juga tidak menyandang gelar sebagai negara imperialis atau kolonial dalam setiap periode perluasan wilayah dan dakwahnya.

Faktanya, sejarah Islam tidak dapat dikaitkan dengan sejarah Eropa Kristen, yang merupakan masa tirani dan kegelapan dan masa revolusi industri yang brutal. Ini adalah masa ketika para pemimpin gereja meninggalkan ajaran-ajaran Kekristenan. Mereka menciptakan aturan dan dogma irasional, menggunakan sikap religius masyarakat untuk menerima dogma gereja. Salah satu jenis kekuasaan gereja yang memiliki pengaruh buruk adalah penjualan pengampunan dosa atau yang disebut dengan indulgensi gereja.

Dogma gereja yang menjadi ciri masyarakat adalah ajaran bahwa “dalam keadaan apapun kita harus menerima dan bersyukur kepada-Nya, karena apa yang diberikan Tuhan kepada kita adalah yang terbaik”. Dalam situasi seperti ini, agama ibarat candu yang bisa meringankan beban dan derita hidup. Ketika dunia nyata dirampas kemakmuran dan kedamaian hidup, agama adalah pilihan terakhir dan hiburan. Dalam agama, manusia menemukan harapan kebahagiaan dan keadilan, yang datang dari Tuhan di dunia spiritual.

Sudah waktunya untuk menyadari bahwa kita saat ini hidup di wilayah neo-imperialisme Barat

Rsup Dr. Sardjito

Mengapa matahari seolah olah bergerak dari timur ke barat, manfaat amdal bagi masyarakat, manfaat reksadana bagi masyarakat, sains teknologi dan masyarakat, mengapa pemasaran penting bagi masyarakat, mengapa pemasaran penting bagi perusahaan, mengapa yesus mati bagi saya, manfaat teknologi informasi bagi masyarakat, manfaat teknologi bagi masyarakat, fungsi musik bagi masyarakat, manfaat investasi bagi masyarakat, manfaat asuransi bagi masyarakat

Tags:

Share:

Related Post

Leave a Comment