Gambar Diatas Adalah Peninggalan Tradisi Megalitikum Yaitu

administrator

0 Comment

Link

Gambar Diatas Adalah Peninggalan Tradisi Megalitikum Yaitu – Sampai saat ini pengetahuan mengenai tradisi megalitik di Bali masih terbatas karena penelitian mengenai tradisi megalitik di Bali belum dilakukan secara menyeluruh. Penyelidikan diawali dengan ditemukannya beberapa sarkofagus yang sudah tidak utuh lagi, ada yang sengaja dirusak oleh orang yang tidak mengetahui apa benda aneh tersebut, dan ada pula yang dirusak secara tidak sengaja. Tempat penemuan tersebut adalah Manuabe (Gianyar), Petang (Badung), Susut (Bangli) dan Beng (Gianyar). Penemuan beberapa sarkofagus oleh P. de Kat Angelino (1921), E. Evertsen (1925), P. A. J. Mooijen (1928), V. E. Korn (1928), P. V. van Stein Callenfels (1930) dan van Heek, yang sebagian besar ditulis oleh H. R. adalah Data penelitian tentang penemuan atau penyelidikan sarkofagus (Heekeren, 1958: 54-56). Penelitian terhadap sarkofagus yang telah ditemukan menghasilkan klasifikasi sarkofagus Bali menjadi dua jenis yaitu sarkofagus kecil dan sarkofagus besar. Di antara temuan sarkofagus ada yang menonjol pada bagian samping, depan atau belakang (Sutaba, 1980: 25-27).

Setelah tahun 1960, sarkofagus semakin banyak ditemukan dan ditemukan tersebar di seluruh Bali, antara lain Tegalalang, Desa Mas, Kabupaten Gianyar. Desa Bajing di Kabupaten Klungkung, Sengguan; Bunutin, Desa Tamanbali, Kabupaten Bangli; Kabupaten Karangasem di Desa Nongan; Kabupaten Buleleng Desa Poh Asem di Tigawangsa; Ambyarsari Kabupaten Jembrana di Desa Pankunlilip; Kabupaten Tabanan di Desa Pujungan, dan Kabupaten Badung di Desa Ptang dan Plaga. Saat itu, terkumpul 87 sarkofagus lengkap dan terpisah-pisah. Di antara temuan tersebut terdapat barang-barang penguburan, seperti gelang perunggu, tajak perunggu, dan manik-manik. Banyak temuan yang masih memiliki permasalahan untuk dipelajari, seperti ortografi, distribusi dan pendahulu upacara penguburan dengan sarkofagus. Melalui penelitian yang cermat, R. P. Soejono (1977: 30-169; 246-270) berhasil memecahkan permasalahan di atas.

Gambar Diatas Adalah Peninggalan Tradisi Megalitikum Yaitu

Secara visual, Soejono mengklasifikasikan sarkofagus Bali menjadi tiga jenis, yaitu sarkofagus besar, sedang, dan kecil. Adapun pencipta sarkofagus tersebut diduga upacara penguburan dengan sarkofagus tersebut dibawa oleh para pendatang dari Asia Tenggara yang datang ke Indonesia dalam perjalanan laut. Lebih lanjut dikatakannya, pemakaman saramakin merupakan penghormatan kepada leluhur yang telah meninggal. Pola dekoratif wajah atau wajah manusia diukir pada proyeksi beberapa sarkofagus. Benda-benda yang dihias dengan topeng ini tidak hanya mempunyai fungsi dekoratif atau estetis, tetapi juga memiliki fungsi magis-simbolis sebagai simbol yang dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat melindungi jiwa orang yang meninggal dan dikuburkan dalam sarkofagus. Selain sebagai hiasan topeng, terdapat tonjolan berbentuk geometris yang mungkin memiliki fungsi praktis, seperti untuk mengikat tali saat sarkofagus diangkut ke kuburan. Kemungkinan ini nampaknya kurang meyakinkan, karena tidak sebanding dengan ukuran sarkofagus, apalagi yang tergolong tipe besar dan sedang (Soejono, 1977: 79-169; 246-270).

BACA JUGA  Nu Katunda Di Manonjaya

Situs Duplang, Situs Megalitikum Batu Menhir Yang Ada Di Kamal, Arjasa, Jember, Jawa Timur

Selain temuan sarkofagus, antropolog budaya Miguel Covarrubias melakukan penelitian yang melaporkan keberadaan bentuk-bentuk megalitik seperti patung batu di desa pegunungan bagian barat Kintamani (Bali), dan bangunan bertingkat bergaya piramida di desa Selulung. Batukaang dan Catur. . Dikatakannya, model megalitikum terdahulu menunjukkan ciri-ciri asli Indonesia (

) Selain itu, ada juga yang menyebutkan bangunan berbentuk limas berundak di Desa Batukandik (Nusa Penida, Klungkung), dengan pahatan kayu yang aneh (

), ukiran kepala kerbau dari desa Satra dan berhala dari desa Batukang dan Pangajaran (Kintamani). Mengenai bentuk-bentuk megalitik yang disebutkan di atas, Convarrubias berpendapat bahwa benda-benda tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pemujaan terhadap nenek moyang (Convarrubias, 1972: 27; 167-168).

Hadimuljono dan Suthaba kemudian melakukan penelitian di desa-desa tersebut di atas, seperti penelitian tradisi megalitik di Kintamani yang dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Hadimuljono (1969) mengkaji bentuk-bentuk megalitik seperti menhir, sarkofagus, bangunan berundak, dan dolmen. Hampir semua temuan tersebut, kecuali sarkofagus, masih memiliki fungsi sakral hingga saat ini. Penelitian terhadap unsur prasejarah khususnya awal mula berkembangnya tradisi megalitik dilakukan oleh Sutaba (1980) yang menemukan hiasan tanduk kerbau.

Situs Megalitik Pokekea, Peninggalan Sejarah Di Lembah Behoa

Di desa Manikleu. Penelitian Soejono tentang tradisi megalitik Tenganan Pegringsingan dilanjutkan oleh Darsana dan Sutaba. Sutaba secara khusus menyelidiki jaman dahulu Candi Puseh (Sutaba, 1977: 182-192). Penelitian di Tengenan Pegringsingan ini dilanjutkan dengan darshan, khususnya terhadap seluruh candi yang mempunyai unsur tradisi megalitik, akhirnya darshan sampai pada kelompok berikut.

Sutaba melanjutkan penelitian tradisi megalitik desa-desa yang tergolong Bali Aga yang dilakukan oleh Soejono. Penelitian di kawasan Sembiran Timur Buleleng menunjukkan tradisi megalitik yang menarik. Suthaba memeriksa 20 candi desa dan menemukan bahwa 17 candi memiliki ciri megalitik yang menarik dan 3 candi sisanya tidak memiliki ciri megalitik. Berdasarkan unsur-unsur megalitik yang ditemukan di sana, Suthaba mampu mengklasifikasikan candi-candi desa Sembiran menjadi 4 kategori sebagai berikut.

BACA JUGA  Hasil Dari 3 Pangkat 4

Sedangkan batu besar (monolit) ditemukan di Desa Poh Asem di Seririt (Buleleng Barat). Batu tersebut dianggap keramat oleh penduduk setempat. Tak jauh dari tempat ditemukannya batu besar (monolit), juga ditemukan patung primitif berbahan karang dengan mata bulat, telinga panjang, dua tangan tanpa lengan di atas dada dan atas kepala. Datar dan bulat dan dua juga ditemukan. Berdasarkan fakta tersebut, dapat diasumsikan bahwa patung-patung primitif tersebut mempunyai kekerabatan yang erat dengan sarkofagus makam yang ada di tempat tersebut, dan patung primitif Poh Asem merupakan patung leluhur yang pertama kali ditemukan di Bali. nenek moyang (Sutaba, 1980: 27-37).

Temuan tradisi megalitik lainnya ditemukan di kota Gelgel (Klungkung). Sisa-sisa tradisi megalitik di Gelgel disebutkan secara sepintas pada tahun 1977 oleh Van der Hoop dan Bernet Kempres. Penelitian di Desa Gelgel juga dilakukan oleh Tjokorda Istri Oka yang meneliti singgasana batu. Dalam penelitian ini, selain batu singgasana, juga ditemukan bentuk-bentuk megalitik seperti menhir, susunan batu sungai, batu berbentuk silinder, batu permukaan datar dan halus, batu dakon, arca menhir.

Balar Sulut Beber Potensi Besar Tinggalan Sejarah Di Situs Lansot

Batu, dan parit batu. Berdasarkan penelitiannya, Oka menyimpulkan bahwa kota Gelgel dapat dianggap sebagai pusat tradisi megalitik yang penting di Bali, dan banyak bentuk megalitik di sana yang masih memiliki fungsi sakral. Kesimpulan tersebut diperkuat dengan ditemukannya beberapa bangunan megalitik antara lain menhir, singgasana batu, lesung batu dan batu alam di desa-desa tetangga, khususnya di desa Tojan, Kamasan dan Sampalan (Oka, 1977: 26-50).

Setelah ditemukannya patung leluhur di desa Poh Asem dan patung menhir di desa Gelgel, kabar penemuan patung tersebut terus menyebar hingga ke desa-desa. Di Desa Depaa, Kubuaddan (Buleleng), secara tidak sengaja warga sekitar menemukan dua buah arca bercorak megalitik yang erat kaitannya dengan pemujaan leluhur (Sutaba, 1982: 103-118). Penemuan lainnya adalah delapan arca megalitik yang disimpan di candi berbeda di desa Paguyangan, Badung (Taro, 1984). Disusul puluhan arca bercorak megalitik, sebagian memperlihatkan alat kelamin laki-laki dan perempuan, di Pura Besakih di Desa Blabatuh (Gianyar), Keramas. Hingga saat ini, temuan-temuan terdahulu masih mempunyai fungsi sakral bagi penduduk setempat, termasuk yang berkaitan dengan upacara kematian, dan dapat dianggap sebagai sisa hidup dari fungsi sebelumnya, meskipun telah mengalami perubahan atau adaptasi dengan kondisi setempat. Selain itu, patung tersebut juga berdoa untuk kesembuhan masyarakat yang sakit dan juga menjadi sarana mendoakan kesembuhan hewan peliharaan yang sakit. Pura Besaki merupakan tempat peribadahan satu kelompok keluarga saja, sehingga arca-arca tersebut dapat diasumsikan sebagai simbol penghormatan terhadap leluhur (Mahaviranatha, 1982: 119-127).

BACA JUGA  Apa Yang Dimaksud Westernisasi

Mengenai temuan-temuan sebelumnya, hal yang sangat penting adalah bahwa berhala-berhala tersebut masih memiliki fungsi sakral, dan hampir semuanya disimpan di kuil-kuil tertentu. Tidak mengherankan jika temuan-temuan sebelumnya bercampur dengan barang antik, berasal dari masa ketika pengaruh agama Hindu menyebar ke Bali. Kenyataan ini menunjukkan adanya kesinambungan dalam kehidupan sosial budaya meskipun perubahan atau penyesuaian tidak dapat dihindari tergantung datangnya pengaruh baru atau kebutuhan masyarakat. Di sisi lain, bertambahnya jumlah patung megalitik yang sewaktu-waktu akan bertambah lagi merupakan suatu kumpulan data arkeologi yang penting dalam kajian berbagai tradisi megalitik, khususnya di Bali dan di Indonesia pada umumnya. Gambaran berbagai aspek kehidupan masyarakat megalitik masa lalu (Sutaba, 2001: 90-91).

Dalam penelitian lebih lanjut ditemukan bahwa singgasana batu tidak hanya ditemukan di desa Jelgal dan sekitarnya, tetapi juga di tempat lain khususnya di Kabupaten Tabanan. Desa dengan jumlah singgasana batu yang banyak di Desa Rejasa memiliki undakan yang terbuat dari beberapa lapis batu dengan beberapa singgasana batu di kedua sisinya (kanan dan kiri) serta batu vertikal di sampingnya. Maju sebagai penunjang (Sumarthika, 1985: 30-37).

Terpilih Sebagai Adwi 2023, Menparekraf Sandiaga Takjub Kentalnya Budaya Di Desa Wisata Tebara

Singgasana batu yang disebutkan di atas berbeda dengan singgasana batu desa yang biasanya memiliki satu atau lebih batu tegak dengan punggung tegak dan (satu atau lebih) batu tanah untuk tempat duduk tanpa sandaran tangan. Tanpa menhir di depannya. Yang menonjol adalah nama-nama singgasana batu yang banyak terdapat di Bali, misalnya Pelingih

. Sistem keagamaan jenis ini mencerminkan kepercayaan terhadap kekuatan alam, misalnya kekuatan gunung. Selain singgasana batu, bentuk megalitik lain seperti menhir dan monolit juga banyak ditemukan di desa-desa yang kaya akan singgasana batu yang dianggap suci sebagai sarana peribadahan.

Candi peninggalan kerajaan sriwijaya yaitu, peninggalan zaman megalitikum, peninggalan pada zaman megalitikum, tarian saman merupakan peninggalan tradisi agama, upacara sekaten merupakan tradisi peninggalan sejarah bercorak, tradisi megalitikum, peninggalan zaman megalitikum di indonesia, gambar peninggalan megalitikum, benda peninggalan zaman megalitikum, peninggalan kebudayaan megalitikum, peninggalan sejarah zaman megalitikum, hasil pengukuran mikrometer sekrup pada gambar diatas adalah

Tags:

Share:

Related Post

Leave a Comment